Sabtu, 31 Januari 2015

Situs Terung, Jejak Majapahit yang Merana di Sidoarjo



Pak Sahuri menunjuk ke arah Situs Terung yang merana

Banyak ahli sejarah berpendapat kalau Kota Kecamatan Krian, tepatnya di Desa Terung inilah dulu pernah menjadi pusat peradaban kota kuno. Kota yang dimasa pemerintahan Brawijaya V dari Kerajaan Majapahit ini pernah disebut-sebut sebagai kota “kadipaten” (kabupaten) ini ternyata masih mempertahankan kekunoannya hingga kini.

Seperti umumnya desa-desa lain di Sidoarjo atau bahkan di Indonesia, Desa Terung juga dicirikan dengan masyarakat yang kebanyakan menggantungkan hidupnya di sektor pertanian. Luas areal  sawah dan ladang diperkirakan sepertiga dari luas wilayah desa ini. Bisa dibayangkan kalau hijaunya sawah ladang mereka menjadi pemandangan yang dominan saat mengunjungi desa ini.

Untuk mengetahui seluk-beluk Desa Terung dengan kisah masa silamnya itu, saya berbincang-bincang dengan Pak Sahuri, pemilik lahan tempat ditemukannya Candi Terung dengan beberapa kekunoan lainnya. Saat saya temui di kediamannya yang berada di Desa Terung Wetan siang itu, pria berusia 60-an ini mengaku ihlas lillahita’alla bila areal pekarangannya digali untuk kepentingan sejarah bangsa. 

Desa Terung yang subur makmur

Sebenarnya ia bersama teman-temannya sudah melaporkan tentang temuan Situs Terung ini ke Dinas Purbakala di Trowulan-Mojokerto. Namun hingga kini respon pihak terkait dengan temuan benda purbakala belum kelihatan. Lelaki bersahaja dengan empat anak ini kemudian melanjutkan kisahnya tentang kekunoan di Desa Terung. 

Saat memasuki Desa Terung, nuansa kuno nan magis masih terasa sekali. Ada 2 pohon Kepuh berukuran sangat besar yang usianya diperkirakan sudah ratusan tahun.
                                               
Pohon Kepuh ini dulu disaat pemerintahan Kolonial Belanda sempat tumbang. Kini muncul kembali, kedua pohon ini menjadi ciri khas pintu gerbang Kadipaten Terung yang masih dipertahankan hingga sekarang. Masyarakat desa kemudian menyebutnya dengan istilah “Kepuh Kembar”.


Pak Sahuri dan beberapa temuan purbakala lainnya

Untuk menuju Desa Terung (wetan) dari arah jalan raya Desa Karangpuri, kita harus melewati sebuah jembatan yang di bawahnya mengalir Sungai Terung. “Dulu di tepian Kadipaten Terung ini merupakan sebuah “bengawan” (sungai besar) yang bermuara ke laut” kata Pak Sahuri melanjutkan kisahnya.

Sampai sekarang jejak masa silam itu masih bisa kita amati yakni dengan adanya Sungai Terung yang semakin dangkal itu. Sambil mengutip pendapat teman-temanya, Pak Sahuri menyimpulkan kalau dulu Kota Kadipaten Terung merupakan kota pelabuhan. Situs Terung yang ditemukan dan senantiasa terendam air meski kemarau seperti sekarang ini, memperkuat dugaan kalau Kadipaten Terung memang menjadi kota syahbandar kala itu.

Situs Terung sebagai bukti peradaban Kadipaten Terung, wujud yang sebenarnya belum diketahui secara pasti. Sahuri mengaku saat ditemukan tumpukan bata purbakala yang menyerupai huruf “L” ini sebagian pihak merasa tidak percaya. 

Situs Terung dan gerbang dari pohon Kepuh (Kepuh Kembar)

Kelompok itu menganggap kalau tumpukan batu bata kuno sebanyak 15 lapis lebih itu hanya rekayasa belaka. Seiring dengan jalannya sang waktu, ada saja pihak-pihak yang menaruh simpati dan memberikan empatinya kepada Sahuri yang sudah pantas dipanggil “mbah” ini.

Bila diperhatikan, bahan batu penyusun Situs Terung ini terbuat dari bata merah dengan ukuran yang lebih lebar dan tebal  daripada batu bata biasa. Selain itu ada kemiripan dengan bata penyusun candi di daerah Trowulan-Mojokerto. Sehingga diyakini kalau situs ini berkaitan erat dengan Kerajaan Majapahit.

Meski Raden Husen (adik Raden Patah lain ayah) sebagai Adipati Terung telah memeluk Islam namun nuansa Majapahit masih menghiasi perikehidupan di Kadipaten Terung, ini terbukti dari adanya kekunoan yang ditemukan sekarang. Baik Raden Husen maupun Raden Patah keduanya masih keturunan Raja Brawijaya V dari Kerajaan Majapahit.

Temuan berupa tumpukan bata kuno yang kemudian dinamakan Candi Terung ini berada di pekarangan Mbah Sahuri yang dipenuhi dengan pohon bambu. Hanya beberapa meter dari candi ditemukan pula dua sumur tua. Satu sumur dengan bibir kotak dinamakan “Sumur Manggis” dan satunya lagi diberi nama “Sumur Gentong”.

Mbah Sahuri mengaku saat akan melakukan penggalian warisan Kadipaten Terung  ini,  ia bersama teman-temannya mengerjakan ritual tapa brata. Setelah melalui mimpi-mimpinya dan dengan tuntunan “orang pintar” akhirnya candi dan sumur kuno peninggalan Kadipaten Terung itu bisa ditemukan.

Dari hasil penggalian di dalam Sumur Manggis ditemukan batu andesit berbentuk mirip buah manggis, dengan kelopak buah sebanyak 8 buah (sumping). Batu manggis kini disimpan dalam pusara Raden Ayu Ontjat Tondo Wurung (putri Raden Husen).

Sementara dinamakan sumur gentong karena di dalamnya pernah ditemukan beberapa gentong yang hingga kini masih terpendam di dalam sumur itu. Banyak pengunjung meyakini bila kedua sumur ini airnya berkhasiat. Menurut penerawangan ahli-ahli kearifan Jawa. Kedelapan sumping dari batu manggis ini mencerminkan ke-8 sifat manusia yang ada di muka bumi. 

Diantaranya : sifat/wataking bumi, marutha (angin), samudra (banyu), dahana (geni), akasa (langit), Surya (srengenge), candra (wulan) dan kartika (lintang). Temuan Situs Terung ini ternyata menjadi berkah tersendiri bagi sebagian warga Desa Terung Wetan. Mereka mendirikan warung sederhana di dekat situs untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum pengunjung yang datang ke lokasi situs. Lumayan mengais rupiah untuk tambahan ekonomi mereka. 

Pusara Raden Husein adipati Desa Terung Wetan

Sebagai pemilik lahan dan sesepuh desa, Pak Sahuri ini patut diacungi jempol, betapa tidak ia dengan ihlas tak mengharapkan apa-apa terhadap pihak atau dinas terkait (BP3 Trowulan) yang mau menggali lahannya demi warisan kuno. Iapun tak segan-segan menjadi nara sumber bagi siapa saja yang akan mencari informasi tentang keberadaan Kadipaten Terung. 

“Saya menyambut baik siapa saja yang bertamu ke sini Dik” tandas Sahuri. Sosok berambut putih ini tidak membeda-bedakan antara pengunjung situs dan pelaku ritual. Semua diperlakukan sama sebagai tamu yang layak dihormati. Usai berbincang-bincang dengan Pak Sahuri, saya melanjutkan perjalanan menuju beberapa kekunoan lain yang juga menjadi bukti keberadaan Kadipaten Terung di masa lalu.

0 komentar:

Posting Komentar