Jumat, 30 Januari 2015

Mengunjungi Masjid Keren di Sananrejo Malang



Pesantren Turen yang dianggap sebagai masjid tiban

Usai menunaikan ibadah Sholat Idul Adha dan sarapan pagi, kami dan keluarga Adik melakukan perjalanan ke sebuah pesantren dengan masjidnya yang unik di daerah Turen, Malang. Malamnya semua perbekalan telah kami siapkan termasuk obat-obatan ringan seperti anti mabuk (antimo).

Maklum, anak dan keponakan saya itu sering "muntah-muntah alias "mabuk perjalanan" kalau menjelajah agak jauh. Meski sering "mabuk perjalanan", anehnya kesukaan berjalan-jalan itu tetap saja dilakukannya. Kami dan keluarga Adik memiliki hobi yang sama, yaitu suka traveling bila ada waktu senggang dan tentunya setelah berunding dulu sebelumnya.

Bersemangat sekali kami mengawali perjalanan di pagi saat liburan Idul Adha kali ini. Hawa sejuk Kota Malang menambah kenyamanan kami dalam berkendara. Panorama alam dan persawahan warga menjadi pencuci mata yang nilainya tak terkirakan. Kami benar-benar menikmatinya.


Ada akuarium cantik dalam Masjid Tiban (Pesantren Bi'baafadirah)

Anak dan keponakan bercanda tawa di jok belakang sementara saya bertanya banyak hal kepada Adik yang sedang nyetir mobil barunya ini. Untuk kesekian kalinya Adik menjadi guide wisata kami karena memang ia lebih banyak tahu tentang destinasi di kota berhawa sejuk ini.

Sebelumnya Adik pernah mengunjungi objek wisata yang konon merupakan "masjid tiban" ini enam tahun yang lalu. Letaknya di Desa Sananrejo, Turen-Malang. Dari kediaman Adik di kawasan Margobasuki, Sengkaling-Batu berjarak kira-kira 55 kilometer. Memang terasa cukup lama perjalanan yang kami lakukan.

Setelah sampai di tugu pertigaan terminal angkot Pasar Tumpang, kami masih harus melanjutkan perjalanan 15 kilometer lagi untuk sampai ke objek wisata yang kami tuju. Jalanan masih tampak sepi. Sebagian masyarakat dan panitia penyembelihan hewan kurban terlihat sibuk di beberapa masjid di pinggir jalan menuju Kecamatan Turen.



Salah satu sisi masjid tiban Turen Malang
Adik yang sudah cukup hafal Daerah Turen, langsung saja membawa mobilnya berhenti di sebuah pertigaan Desa Sananrejo, Turen. Di sana ada papan besar bertuliskan Pondok Pesantren Salafiyah Bihaaru Bahri'Asali Fadlaailir Rahmah. Ternyata dari papan nama di pertigaan jalan raya Sananrejo, mobil masih harus berjalan 1 kilometer lagi.

Kehadiran pesantren yang jadi objek wisata unik ini menjadi berkah bagi masyarakat Desa Sananrejo. Di kanan-kiri jalan menuju pesantren terlihat banyak warga berjualan makanan dan oleh-oleh khas Malang.

Tidak jarang dari warga setempat juga memanfaatkan halaman rumahnya yang cukup luas itu untuk parkiran kendaraan dan bus pariwisata. Hal ini untuk mengantisipasi lonjakan wisatawan bila area parkir di halaman pesantren tidak mencukupi.


Bagi para wisatawan yang ingin mengunjungi pondok pesantren yang menarik ini tak perlu khawatir. Tidak ada biaya tiket masuk alias gratis. Pengunjung diwajibkan melapor ke kantor petugas dengan menunjukkan data nomer plat mobil beserta jumlah penumpangnya.

Petugas dengan mengenakan baju takwa, sarung lengkap dengan kopyahnya seperti layaknya seorang ustad atau santri dengan membawa megaphone memberikan informasi kepada pengunjung yang membawa kendaraan keluar masuk pondok pesantren itu.

Berdasarkan situs resmi yang dikeluarkan oleh pondok pesantren, diketahui bahwa pendiri pondok ini adalah KH. Ahmad Bahru Mafdlaluddin Shaleh Al-Mahbub Rahmat Alam atau yang lebih familiar disapa Romo Kyai Ahmat.

Beliau adalah putra dari Kyai Sholeh yang sekaligus juga gurunya sendiri. Kyai Ahmad pernah menjadi santri Kyai Sahlan Thalib di pondok pesantren Sidorangu-Krian, Sidoarjo. Pondok pesantren yang bernama lain Bi Ba'a Fadirah ini dirintis tahun 1963. Pembangunan pondok awalnya dimulai tahun 1978.

Kala itu sang kyai bersama santrinya hanya menggunakan bahan batu bata merah dengan adonan tanah liat (Jawa=ledok) untuk mendirikan bangunan pesantren. Seiring dengan perkembangan jaman, kini bangunan pondok pesantren ini mencapai 10 lantai.

Bangunan berdiri di areal seluas 4 hektar lebih. Dana pembangunan pondok pesantren ini berasal dari Kyai Ahmad, sebagian lagi dari jamaah. Soal pendanaan pesantren ini menggunakan prinsip tidak meminta-minta sumbangan bahkan tidak meminjam atau berhutang. Wah luar biasa perjuangan Sang Kyai ini. Patut dijadikan contoh generasi sekarang.

Hebatnya lagi, Kyai Ahmad sendiri yang menjadi arsiteknya. Tidak menggunakan ahli bangunan khusus. Atau mengadobsi teknologi negara lain. Murni buah karya Kyai Ahmad. Setelah melalui istikharah barulah sang kyai menentukan bentuk bangunan, ornamen atau warna cat pondok pesantren itu.

Bila diperhatikan gaya bangunan pondok pesantren ini sangatlah unik. Ada yang mengatakan kalau Kyai Ahmad sengaja memadukan gaya India, Arab dan China untuk menghadirkan kesan lain sesuai petunjuk dari Ilahi setelah beliau beristikharah.

Saat menuju lantai demi lantai, pengunjung akan menemukan beberapa lantai seperti lantai 5,7 dan 8 digunakan untuk toko busana muslim, kue-kue, pernak-pernik, sepatu, suvenir khas pondok pesantren bahkan air minum dalam kemasan yang diproduksi oleh pesantren. Sementara penjaga stan-stan itu tidak lain adalah santriwati pondok pesantren ini.

Harga barang-barangnya juga cukup murah. Di setiap lantai dipasang penanda jalan juga himbauan yang harus ditaati oleh pengunjung. Untuk lantai yang sudah berkeramik, pengunjung harus melepas alas kaki. Mereka yang muslim harus mengenakan busana muslim.

Pengunjung juga bisa menikmati koleksi berbagai ikan air tawar dalam akuarium berukuran besar di lantai 2 atau 3. Di sebelah luar juga kita jumpai beberapa ekor menjangan, merak, kelinci, ayam dan burung terpelihara rapi dalam sangkarnya masing-masing. Benar-benar pondok pesantren yang spesial.

Di lantai tertinggi (lantai 10) pengunjung bisa menyaksikan panorama pegunungan yang indah. Di lantai itu pula ada beberapa ekor kera yang terpelihara dengan baik terikat pada ornamen mirip pohon. Terlihat jinak dengan para pengunjung pesantren. Ornamen cantik menyerupai menara juga banyak terlihat di lantai 10 ini.

Dari salah seorang Bapak petugas yang siang itu sedang memberi makan monyet, saya dapatkan informasi yang sebenarnya tentang pondok pesantren ini. Selama ini beredar berita di masyarakat kalau masjid ini adalah masjid tiban. "Itu tidak benar Dik, masjid ini dibangun manusia bukan tiba-tiba ada seperti yang digembar-gemborkan selama ini" ungkap Bapak tadi.

Sebenarnya tidak cukup sehari untuk menikmati setiap sudut-sudut cantik bangunan pesantren ini. Beberapa bagian terlewatkan oleh kami. Hari semakin siang. Perjalanan kami teruskan kembali ke pertigaan tugu Kecamatan Tumpang.



0 komentar:

Posting Komentar