Mencari Jejak Prabu Anglingdarma di Bojonegoro

Masing-masing daerah di Indonesia biasanya memiliki cerita rakyat seputar tokoh atau pendiri daerah itu.

Ketika Perpustakaan Jadi Objek Wisata Keren di Surabaya

Anda semua tentu tahu apa itu perpustakaan. Istilah perpustakaan biasanya diartikan sebagai bangunan tempat menyimpan beraneka buku.

Rumah Hantu Darmo Jadi Aset Wisata Surabaya

Sebagian dari Anda tentu sudah pernah mendengar atau bahkan melihat melalui tayangan di televisi tentang rumah berhantu di kawasan Darmo Harapan...

Menikmati Sudut-Sudut Cantik Goa Akbar Tuban

Objek wisata di daerah-daerah yang tersebar di seantero nusantara memang tak disangsikan lagi potensinya.

Pohon Cinta di Bojonegoro Pintu Gerbang Mpu Supa

Objek wisata alam Kayangan Api di Desa Sendangharjo, Ngasem-Bojonegoro tampaknya tak lepas dari nama besar Mpu Supa.

Sabtu, 31 Januari 2015

Mengagumi Kebesaran Syailendra di Candi Borobudur



Candi Borobudur dari kejauhan

Sepulang dari menghadiri acara pernikahan adik ipar di Cilacap kami tak langsung pulang ke Gresik, Jawa Timur melainkan mampir sebentar di Yogyakarta. Malam harinya kami menginap di sebuah losmen sederhana dekat kawasan Malioboro.

Meski badan ini terasa lelah namun kesempatan yang ada tak kami sia-siakan. Sebelum beristirahat kami masih sempat berjalan-jalan di sepanjang Jalan Malioboro. Jalan yang menjadi ikon wisata kota tua Yogyakarta ini memang tak pernah mati.

Malam itu suasana terlihat ramai. Di kanan kiri jalan banyak kita temukan toko-toko yang menyediakan berbagai barang kebutuhan. Pedagang kaki lima (angkringan) yang menyediakan kuliner khas Yogya juga banyak terlihat di sepanjang jalan itu.

Malioboro telah menjadi simbol gemerlapnya Yogyakarta,  tak heran bila para wisatawan termasuk kami menjadi terpikat dengan kawasan ini. Selain menjadi surganya kuliner khas Yogyakarta, bagi Anda yang ingin berburu busana batik maka di Maliboro inilah tempatnya. Pakaian batik dengan beragam motif tersedia di Maliboro. Anda tinggal pilih sesuai selera.

Keramaian Malioboro telah menghipnosis kami. Sehingga mata kami tak terasa ngantuk meski malam semakin kelam. Walau sekedar cuci mata namun jalan-jalan ke Maliboro malam itu terasa mengesankan. Bagaimanapun asyiknya Malioboro namun kami tak terlena. Kami bergegas kembali ke losmen untuk segera menuju peraduan sebab keesokan harinya kami melanjutkan kunjungan ke Candi Borobudur di Kota Magelang, Jawa Tengah.

Setelah sarapan pagi di warung kaki lima dekat losmen kami segera naik angkot (Rp.3000/orang) menuju Terminal Giwangan untuk mencari bus jurusan Objek Wisata Candi Borobudur di Muntilan, Magelang. Sejak dari Gresik kami memang punya keinginan untuk mengunjungi Candi Borobudur usai acara pernikahan Adik ipar di Cilacap. 

Stupa utama Candi Borobudur

Butuh waktu kira-kira 1,5 jam dari Terminal Giwangan untuk sampai ke lokasi Candi Borobudur. Meski waktu tempuh yang cukup lama namun perjalanan dengan bus itu tetap terasa mengasyikkan. Sebab di dalam benak kami hanya terbayang suasana dan panorama candi yang mempesona. Tak peduli apakah  ruangan bus pengab dan bau asap yang menyesakkan nafas, penuh sesaknya penumpang serta macetnya lalu lintas. Pikir kami yang penting bisa sampai lokasi dengan selamat.

Untuk perjalanan itu kami bertiga harus membayar Rp.60.000,- masih tergolong ringan bila dibandingkan jarak tempuhnya yang mencapai 40 kilometeran. Perjalanan panjang memang tidak perlu membosankan. Kami memanfaatkan perjalanan itu dengan memanjakan mata kami dengan melihat-lihat suasana dan panorama desa-desa yang dilewati bus yang kami tumpangi.

Akhirnya sampai juga di lokasi wisata Candi Borobudur. Dari pemberhentian bus terakhir di Desa Borobudur Kecamatan Muntilan kami masih berjalan sejauh beberapa ratus meter lagi. Sebenarnya sarana andong (dokar) dan becak juga ada namun kami memilih berjalan kaki saja bersama wisatawan lainnya.

Pintu loket sudah ada di depan kami dan wisatawan lainnya. Hari biasapun Candi Borobudur masih penuh sesak dengan para pengunjung. Kami melihat cukup panjang antrian pengunjung candi kesohor ini. Untuk setiap pengunjung dikenakan biaya tiket masuk sebesar Rp.30.000,- mungkin saat ini sudah naik lagi entah berapa. Sekitar 100 meter mendekati kompleks candi sudah tampak stupa utama Candi Borobudur. 

Pamor dan kemegahan Candi Borobudur sudah terpancar meski dari kejauhan. Udara yang segar karena rimbunnya pepohonan di jalan menuju candi seakan menjadi pengobat rasa lelah yang ada. Antusiasme pengunjung candi juga cukup besar hal ini terlihat dengan banyaknya jumlah wisatawan yang  berjalan berduyun-duyun menuju bangunan candi.

Kami tak sabar untuk segera naik trap-trap tangga batu andesit yang ada di Candi Borobudur. Untuk mengatasi sengatan matahari di siang itu kami menyewa payung yang ditawarkan oleh penjaja di lingkungan wisata Candi Borobudur. Lumayan dengan payung ini acara jalan-jalan naik dan turun tangga batu andesit akan terasa lebih nyaman.

Dengan bergaya seperti layaknya seorang arkeolog amatiran kami terutama saya mencoba melihat dan menikmati secara lebih dekat relief-relief, arca dan stupa candi yang pernah dicanangkan sebagai 7 keajaiban dunia itu.

Candi Borobudur dibangun pada tahun 770 Masehi dan selesai pada 825 masehi. Kala itu atas perintah Raja Samaratungga dari Wangsa Syailendra maka sang arsitek yang tak lain bernama Gunadharma itu akhirnya berhasil mewujudkan maha karyanya berupa bangunan candi megah yang sampai kini menjadi kebanggan rakyat dan Negara Indonesia.

Menurut penelitian para ahli nama Borobudur berasal dari Bahasa Sansekerta dari kata “Bhumi Sambhara Bhudhara” yang berarti : bukit kebajikan 10 tingkatan boddhisattwa. Bangunan dasar Candi Borobudur berukuran 123 X 123 meter persegi. Tingginya kira-kira mencapai 35 meteran. Ada sumber yang mengatakan kalau tinggi aslinya sekitar 42 meter. Khabarnya Thomas Raffleslah yang pertama kali menemukan candi ini pada tahun 1814. 

Juga disukai muda-mudi

Bagi pemeluk Agama Budha di Indonesia, Candi Borobudur merupakan tempat upacara ritual keagamaan mereka. Candi Borobudur menjadi tempat suci untuk memuliakan Sang Budha yang menjadi penuntun umat dari alam kegelapan (nafsu angkara murka) menuju pencerahan dan kebijaksanaan hidup. 

Pada Hari Raya Waisak candi ini banyak didatangi umat Budha dari berbagai penjuru tanah air.
Berjalan melingkar menaiki trap tangga demi tangga di Candi Borobudur bagi umat Budha ternyata memiliki makna yang mendalam. Tingkatan-tingkatan itu meliputi kamadhatu (hawa nafsu), rupadhatu (wujud) dan arupadhatu (tak berwujud).

Koleksi relief-reliefnya merupakan yang terlengkap diantara semua candi yang ada di Indonesia. Bahkan khabarnya menjadi yang terlengkap di dunia. Ada sekitar 72 stupa berlubang tersusun melingkar mengelilingi stupa utama. Di dalam stupa berlubang Anda atau traveler lainnya bisa menyaksikan arca budha duduk bersila.

Ada sebagian masyarakat yang meyakini (bukan hanya pemeluk Budha) konon bagi mereka yang berhasil menyentuh arca itu niscaya segala cita-citanya akan terkabul. Wah semoga saja sesuatu yang terbaik yang Anda cita-citakan menjadi kenyataan setelah tangan Anda berhasil menyentuh arca Budha itu. 

Mengenalkan si kecil dengan warisan sejarah

Karena penasaran dengan cerita turun-temurun yang mereka dengar sehingga banyak wisatawan terutama pasangan muda-mudi mencoba peruntungan ini dengan memasukkan tangannya ke dalam stupa berlubang untuk meraih arca Sang Budha itu.

Banyak yang belum kami ketahui tentang candi ini. Mungkin karena keajaibannya itu! Rasanya tak cukup sehari untuk bisa menikmati Candi Borobudur sebagai warisan sejarah yang begitu luhur dan megah itu. Apalagi bila pandangan kita arahkan ke segala penjuru perbukitan Tidar dan Menoreh yang mengelilingi candi ini. Terlihat begitu sejuk di mata meski saat siang hari sekalipun.

 

Situs Terung, Jejak Majapahit yang Merana di Sidoarjo



Pak Sahuri menunjuk ke arah Situs Terung yang merana

Banyak ahli sejarah berpendapat kalau Kota Kecamatan Krian, tepatnya di Desa Terung inilah dulu pernah menjadi pusat peradaban kota kuno. Kota yang dimasa pemerintahan Brawijaya V dari Kerajaan Majapahit ini pernah disebut-sebut sebagai kota “kadipaten” (kabupaten) ini ternyata masih mempertahankan kekunoannya hingga kini.

Seperti umumnya desa-desa lain di Sidoarjo atau bahkan di Indonesia, Desa Terung juga dicirikan dengan masyarakat yang kebanyakan menggantungkan hidupnya di sektor pertanian. Luas areal  sawah dan ladang diperkirakan sepertiga dari luas wilayah desa ini. Bisa dibayangkan kalau hijaunya sawah ladang mereka menjadi pemandangan yang dominan saat mengunjungi desa ini.

Untuk mengetahui seluk-beluk Desa Terung dengan kisah masa silamnya itu, saya berbincang-bincang dengan Pak Sahuri, pemilik lahan tempat ditemukannya Candi Terung dengan beberapa kekunoan lainnya. Saat saya temui di kediamannya yang berada di Desa Terung Wetan siang itu, pria berusia 60-an ini mengaku ihlas lillahita’alla bila areal pekarangannya digali untuk kepentingan sejarah bangsa. 

Desa Terung yang subur makmur

Sebenarnya ia bersama teman-temannya sudah melaporkan tentang temuan Situs Terung ini ke Dinas Purbakala di Trowulan-Mojokerto. Namun hingga kini respon pihak terkait dengan temuan benda purbakala belum kelihatan. Lelaki bersahaja dengan empat anak ini kemudian melanjutkan kisahnya tentang kekunoan di Desa Terung. 

Saat memasuki Desa Terung, nuansa kuno nan magis masih terasa sekali. Ada 2 pohon Kepuh berukuran sangat besar yang usianya diperkirakan sudah ratusan tahun.
                                               
Pohon Kepuh ini dulu disaat pemerintahan Kolonial Belanda sempat tumbang. Kini muncul kembali, kedua pohon ini menjadi ciri khas pintu gerbang Kadipaten Terung yang masih dipertahankan hingga sekarang. Masyarakat desa kemudian menyebutnya dengan istilah “Kepuh Kembar”.


Pak Sahuri dan beberapa temuan purbakala lainnya

Untuk menuju Desa Terung (wetan) dari arah jalan raya Desa Karangpuri, kita harus melewati sebuah jembatan yang di bawahnya mengalir Sungai Terung. “Dulu di tepian Kadipaten Terung ini merupakan sebuah “bengawan” (sungai besar) yang bermuara ke laut” kata Pak Sahuri melanjutkan kisahnya.

Sampai sekarang jejak masa silam itu masih bisa kita amati yakni dengan adanya Sungai Terung yang semakin dangkal itu. Sambil mengutip pendapat teman-temanya, Pak Sahuri menyimpulkan kalau dulu Kota Kadipaten Terung merupakan kota pelabuhan. Situs Terung yang ditemukan dan senantiasa terendam air meski kemarau seperti sekarang ini, memperkuat dugaan kalau Kadipaten Terung memang menjadi kota syahbandar kala itu.

Situs Terung sebagai bukti peradaban Kadipaten Terung, wujud yang sebenarnya belum diketahui secara pasti. Sahuri mengaku saat ditemukan tumpukan bata purbakala yang menyerupai huruf “L” ini sebagian pihak merasa tidak percaya. 

Situs Terung dan gerbang dari pohon Kepuh (Kepuh Kembar)

Kelompok itu menganggap kalau tumpukan batu bata kuno sebanyak 15 lapis lebih itu hanya rekayasa belaka. Seiring dengan jalannya sang waktu, ada saja pihak-pihak yang menaruh simpati dan memberikan empatinya kepada Sahuri yang sudah pantas dipanggil “mbah” ini.

Bila diperhatikan, bahan batu penyusun Situs Terung ini terbuat dari bata merah dengan ukuran yang lebih lebar dan tebal  daripada batu bata biasa. Selain itu ada kemiripan dengan bata penyusun candi di daerah Trowulan-Mojokerto. Sehingga diyakini kalau situs ini berkaitan erat dengan Kerajaan Majapahit.

Meski Raden Husen (adik Raden Patah lain ayah) sebagai Adipati Terung telah memeluk Islam namun nuansa Majapahit masih menghiasi perikehidupan di Kadipaten Terung, ini terbukti dari adanya kekunoan yang ditemukan sekarang. Baik Raden Husen maupun Raden Patah keduanya masih keturunan Raja Brawijaya V dari Kerajaan Majapahit.

Temuan berupa tumpukan bata kuno yang kemudian dinamakan Candi Terung ini berada di pekarangan Mbah Sahuri yang dipenuhi dengan pohon bambu. Hanya beberapa meter dari candi ditemukan pula dua sumur tua. Satu sumur dengan bibir kotak dinamakan “Sumur Manggis” dan satunya lagi diberi nama “Sumur Gentong”.

Mbah Sahuri mengaku saat akan melakukan penggalian warisan Kadipaten Terung  ini,  ia bersama teman-temannya mengerjakan ritual tapa brata. Setelah melalui mimpi-mimpinya dan dengan tuntunan “orang pintar” akhirnya candi dan sumur kuno peninggalan Kadipaten Terung itu bisa ditemukan.

Dari hasil penggalian di dalam Sumur Manggis ditemukan batu andesit berbentuk mirip buah manggis, dengan kelopak buah sebanyak 8 buah (sumping). Batu manggis kini disimpan dalam pusara Raden Ayu Ontjat Tondo Wurung (putri Raden Husen).

Sementara dinamakan sumur gentong karena di dalamnya pernah ditemukan beberapa gentong yang hingga kini masih terpendam di dalam sumur itu. Banyak pengunjung meyakini bila kedua sumur ini airnya berkhasiat. Menurut penerawangan ahli-ahli kearifan Jawa. Kedelapan sumping dari batu manggis ini mencerminkan ke-8 sifat manusia yang ada di muka bumi. 

Diantaranya : sifat/wataking bumi, marutha (angin), samudra (banyu), dahana (geni), akasa (langit), Surya (srengenge), candra (wulan) dan kartika (lintang). Temuan Situs Terung ini ternyata menjadi berkah tersendiri bagi sebagian warga Desa Terung Wetan. Mereka mendirikan warung sederhana di dekat situs untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum pengunjung yang datang ke lokasi situs. Lumayan mengais rupiah untuk tambahan ekonomi mereka. 

Pusara Raden Husein adipati Desa Terung Wetan

Sebagai pemilik lahan dan sesepuh desa, Pak Sahuri ini patut diacungi jempol, betapa tidak ia dengan ihlas tak mengharapkan apa-apa terhadap pihak atau dinas terkait (BP3 Trowulan) yang mau menggali lahannya demi warisan kuno. Iapun tak segan-segan menjadi nara sumber bagi siapa saja yang akan mencari informasi tentang keberadaan Kadipaten Terung. 

“Saya menyambut baik siapa saja yang bertamu ke sini Dik” tandas Sahuri. Sosok berambut putih ini tidak membeda-bedakan antara pengunjung situs dan pelaku ritual. Semua diperlakukan sama sebagai tamu yang layak dihormati. Usai berbincang-bincang dengan Pak Sahuri, saya melanjutkan perjalanan menuju beberapa kekunoan lain yang juga menjadi bukti keberadaan Kadipaten Terung di masa lalu.

Inilah Kuncup Bunga Terbesar Di Dunia




Kuncup bunga bangkai (Amorphopallus titanum)

Belum lama ini kita dikejutkan dengan berita tentang tumbangnya pohon tua koleksi Kebun Raya Bogor (KRB). Pohon yang diperkirakan berusia ratusan tahun itu menjadi buah bibir karena menimpa beberapa pengunjung KRB hingga menimbulkan korban jiwa.

Pihak pengelolah KRB sempat berkilah kalau tumbangnya pohon tua dari jenis damar (Agathis alba) itu akibat ulah angin puting beliung. Namun hal ini dibantah oleh saksi mata yang berada di dekat lokasi kejadian.

Saat terjadi peristiwa tumbangnya pohon damar hingga menyebabkan tewasnya beberapa pengunjung KRB itu suasana dan cuaca sekitar pohon dalam keadaan normal. Jadi bukan karena angin ribut sebagai penyebabnya.

Setelah dilakukan penelitian, ternyata pohon damar yang tumbang itu memang usianya sudah tua. Batangnya sudah rapuh sehingga sewaktu-waktu bisa tumbang dan siap menimpa siapa saja yang ada di dekatnya.

Berfotoria di dekat gerbang masuk KRB

Paling tidak kejadian ini menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi para pengunjung dan tentunya pihak pengelolah KRB. Pohon-pohon tua nan langka menjadi bahan yang sangat berharga bagi dunia ilmu pengetahuan khususnya bidang ilmu tumbuhan (Botani). 

Namun di sisi lain pihak pengelolah KRB hendaknya lebih ketat melakukan pengawasan terhadap pohon-pohon tua yang menjadi koleksinya. Pengunjungpun diharapkan mulai waspada bila bersantai ria di dekat pohon-pohon yang diketahui telah berusia tua itu.

Terlepas dari kejadian yang memilukan itu, KRB masih tetap membanggakan sebagai ikon (wisata)  Kota Bogor bahkan Indonesia di mata dunia. Sebelum kejadian tumbangnya pohon tua yang merenggut nyawa beberapa orang itu, saya sempat mengunjungi KRB. Berikut catatan saya saat melihat dari dekat kuncup bunga bangkai yang terkenal itu.

Ada beberapa tempat dalam Kebun Raya Bogor  yang menjadi habitat bunga bangkai (Amorphophallus titanum). Habitat bunga bangkai pertama yang saya datangi ini dekat dengan Museum Zoologi. 
Usai mengunjungi museum saya langsung ke lokasi yang menjadi tempat tumbuh bunga bangkai itu. Ada plang penunjuk jalan ke arah lokasi. Jadi Anda tak perlu khawatir akan tersesat.

Beberapa petugas yang sedang memotong rumput dekat kebun bunga bangkai sempat menginformasikan kalau saat ini bunga bangkai sedang tidak tumbuh.
Saya penasaran dengan keterangan petugas tadi. Untuk itu saya memastikan dengan mendatangi habitatnya. 

Gerbang masuk Kebun Raya Bogor

Ternyata benar, tak ada bunga bangkai yang tumbuh di lokasi kebun itu. Kata petugas tadi,  saat ini yang tersisa dalam tanah adalah umbi bunga bangkai saja. Suatu saat nanti akan tumbuh membentuk tunas baru dan selanjutnya berkembang menjadi bunga bangkai dewasa yang mekar sempurna. Seperti yang biasa kita lihat di buku-buku pelajaran atau media televisi.

Belum berhasil melihat wujud bunga bangkai yang seutuhnya, penyusuran saya lanjutkan ke arah Monumen Kelapa Sawit. Tidak jauh dari monumen itu ada sebuah lahan yang letaknya lebih tinggi. Dari jauh sudah terlihat bunga bangkai tumbuh di atas tanah itu.

Serta merta saya bergegas mendekatinya. Sayang sekali bunga bangkai itu belum mekar sempurna. Masih menguncup. Kata salah seorang petugas Kebun Raya Bogor yang ada di lokasi, kira-kira seminggu lagi  bunga bangkai itu akan mekar sempurna. Ada pagar pembatas yang mengelilingi bunga bangkai itu sehingga para pengunjung dilarang melihat lebih dekat.

Karena singkatnya waktu berlibur ke Kota Bogor ini sehingga saya tak bisa menyaksikan Bunga Bangkai dalam keadaan mekar sempurna. Meski demikian acara jalan-jalan saya menikmati sudut-sudut cantik Kebun Raya Bogor ini tidak seratus persen sia-sia. Masih mending daripada tidak berhasil melihat wujud bunga bangkai sama sekali.

Berdasarkan keterangan yang tertera pada papan dalam kebun diketahui kalau bunga bangkai yang memiliki nama ilmiah Amorphophallus titanum ini berasal dari Pulau Sumatera. Konon bunga ini memiliki rangkaian yang terbesar dan tertinggi di dunia.

Berkat bunga yang baunya kurang sedap ini, nama Indonesia menjadi harum di mata masyarakat dunia. Uniknya Bunga Bangkai ini bukan ditemukan oleh warga Indonesia melainkan oleh ahli botani berkebangsaan Itali yang bernama Odoardo Beccari pada tahun 1878.

Tinggi Bunga Bangkai bisa mencapai 3,5 meter dengan diameter kelopak hingga 2 meter dan berat umbinya bisa mencapai 100 kilogram. Kelopaknya berwarna merah marun dengan tongkol kuning menjulang yang merupakan tempat menempelnya ratusan bunga kecil yang sesungguhnya.

Bunga Bangkai mekar sempurna pada malam hari dan mengeluarkan bau busuk yang mengundang serangga penyerbuk. Masa berdaun dan berbunga terjadi secara bergantian. Sehabis berdaun akan dilanjutkan dengan masa istirahat selama 1-3 tahun. Bunga akan muncul bila umbi cukup memiliki cadangan energi untuk menumbuhkannya.

Amorphophallus titanum ini tidak sama dengan Rafflesia arnoldi yang juga disebut sebagai bunga bangkai. Rafflesia arnoldi merupakan tumbuhan parasit yang tidak memiliki daun, batang maupun akar.