Sabtu, 31 Januari 2015

Kisah Pilu Gerbong Maut di Bondowoso



Stasiun kereta api Bondowoso yang bersejarah

Pagi sekali, sekitar pukul 04.00 bus yang kami tumpangi memasuki Kota Bondowoso. Sebenarnya perjalanan Surabaya-Bondowoso tidak selama itu. Kalau lancar paling hanya butuh waktu 5-6 jam. Kebetulan bus dari Surabaya yang langsung ke Bondowoso untuk malam hari itu ( jam 22.00 WIB, 15 Agustus 2014) tidak ada. Petugas Terminal Purabaya, Bungurasih-Sidoarjo menyarankan agar kami estafet saja.

“Dik,  naik saja dari Terminal Purabaya ke Terminal Probolinggo, nanti setelah sampai di sana oper yang jurusan Terminal Bondowoso” terang salah satu petugas Terminal Purabaya. Menggunakan transportasi bus sepertinya lebih leluasa ketimbang kereta api. Kita bisa sewaktu-waktu bepergian dengan alat transportasi ini. Kami baru bisa berangkat ke Bondowoso setelah menunggu para anggota tim pulang dari tempat kerjanya masing-masing.

Tarif bus kelas ekonomi jurusan Surabaya-Bondowoso  sekitar Rp. 28.000,-. Kalau estafet mungkin lebih mahal dan pastinya juga lebih lama. Mendingan kita naik bus yang jurusan langsung Surabaya-Bondowoso saja. Selain murah juga lebih cepat sampai. Bondowoso adalah kota yang kami tuju sebelum mendaki Gunung Ijen. 

Selain Bondowoso traveler bisa melalui Kota Banyuwangi untuk bisa sampai ke Gunung Ijen, karena memang gunung ini berada di perbatasan kedua kota itu. Dinginnya pagi kota yang kondang dengan jajanan “tape” ini begitu menusuk tulang belulang kami. Pagi itu kami diterima dengan sangat baik oleh Pak Bambang, kepala Terminal Kota Bondowoso. Di kantornya kami menerima banyak informasi tentang jalan terdekat menuju Gunung Ijen.


Di depan stasiun kereta api Bondowoso

“Agak siang kendaraan yang menuju Desa Sempol akan datang Dik. Tunggu saja di sini” kata Pak Bambang kepada kami. Desa Sempol merupakan desa terakhir sebelum menuju pos Pal Tuding, yakni sebuah tempat pemeriksaan sebelum mendaki Gunung Ijen. Jarak Desa Sempol dengan Pal Tuding kira-kira 15 kilometer atau  setengah jam perjalanan dengan motor atau mobil. Selain area untuk berkemah (camping ground) di Pal Tuding juga kita temukan beberapa fasilitas lain seperti gedung serbaguna, mushollah dan warung kuliner.

Sambil menunggu kendaraan jurusan Pal Tuding, kami putuskan untuk sholat subuh berjamaah di masjid Polres Bondowoso. Setelah menunaikan ibadah sholat subuh, kami berempat memanfaatkan kesempatan yang ada untuk berjalan-jalan sebentar menikmati segarnya pagi di Kota Bondowoso. Tak jauh dari kantor Kapolres Bondowoso, tepatnya di sudut pertigaan jalan kami menjumpai bangunan Stasiun Bondowoso. Jika diperhatikan gaya bangunannya, stasiun ini merupakan stasiun lama. Mungkin warisan kolonial Belanda.

Dugaan saya tidak meleset. Stasiun kereta api Bondowoso ini memang bersejarah. Di sebelahnya terdapat papan bertuliskan “Dari stasiun inilah pahlawan Gerbong Maut mengorbankan jiwa raganya demi kemerdekaan negara, nusa dan bangsa”. Kami melihat-lihat sebentar ke sekeliling gedung stasiun ini. Stasiun ini sepertinya sudah tidak difungsikan lagi. Mungkin dijadikan bangunan cagar budaya oleh Pemerintah Kota Bondowoso.

Hari semakin siang, penyusuran kami lanjutkan menuju alun-alun Kota Bondowoso. Saat berada di pusat Kota Bondowoso itu, kami terkesima dengan sebuah bangunan unik di sana. Ternyata itu adalah monumen yang punya kisah sejarah. Monumen itu berbentuk gerbong kereta api lengkap dengan patung-patung manusia dengan ekspresi wajah yang berbeda-beda. 



Anggota tim yang akan ke Gunung Ijen

Replika gerbong kereta api yang dinamakan “Gerbong Maut” itu menjadi pemandangan menarik di jantung Kota Bondowoso.  Seolah menjadi ikon kota yang mayoritas warganya keturunan etnis Madura ini. Saya mendekat dan membaca lebih seksama keterangan yang terpahat di monumen itu. Beberapa anggota tim lainnya berjalan mondar-mandir di sekitar monumen sambil mencari tempat yang pas untuk mengabadikan pesona monumen kebanggaan warga Bondowoso ini.

Meski Bangsa Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 namun bangsa penjajah dalam hal ini Belanda dan sekutunya tidak serta merta hengkang dari bumi pertiwi tercinta ini. Di berbagai penjuru nusantara militer Belanda masih bercokol dengan kuatnya.
Itu pula yang terjadi di Kota Bondowoso pada 23 November 1947. Belanda dengan alasan yang tak bisa diterima akal sehat mencoba mengoyak kembali kedaulatan kita.

Sebanyak 100 orang tawanan di pindahkan secara tidak manusiawi dari penjara Bondowoso menuju penjara Bubutan Surabaya. Mereka diangkut dengan menggunakan 3 gerbong kereta barang. Gerbong 1 dan 2 berisi 68 tawanan. Gerbong dalam kondisi tidak baru lagi tapi masih berventilasi ala kadarnya dengan ukuran 10 X 15 cm dan ada celah-celah udara masih bisa masuk ke dalam gerbong. Pada gerbong ketiga dengan nomer GR 10152 diisi 38 tawanan. Keadaan gerbong relatif baru namun tidak dilengkapi ventilasi sama sekali.

Bisa dibayangkan betapa panas dan pengabnya suasana dalam gerbong ketiga yang meski masih baru namun udara segar tidak bisa masuk. Para tawanan yang sebagian juga dari warga biasa itu ibarat dipanggang dalam open. Menurut sejarahnya, selama lebih kurang 20 jam perjalanan kereta api Bondowoso-Surabaya, para tawanan itu tidak diberi makan dan minum oleh militer Belanda meski hanya sedikit. 

Untuk mempertahankan diri dari rasa haus dan lapar, diantara para tawanan itu ada yang harus meminum air kencingnya sendiri atau dari tawanan lainnya. Sumber lain juga menyebutkan, untuk mempertahankan diri dari haus dan lapar sebagian tawanan itu rela meminum air mani tawanan lainnya.

Setelah sampai di stasiun kereta api Wonokromo Surabaya akhirnya diketahui kalau korban meninggal sebanyak 46 orang, sakit karena kekurangan oksigen dan lemas sebanyak 42 orang dan hanya 12 orang tawanan yang masih sehat itupun kondisinya juga memprihatinkan. 38 orang tawanan yang berada pada gerbong dengan nomer seri GR 10152 semuanya tewas mengenaskan. 

Gerbong asli bernomer GR 10152 itu kini disimpan di Museum Brawijaya, Jalan Ijen 25 Malang, Jawa Timur. Sedangkan yang kita lihat di tengah Kota Bondowoso itu adalah replikanya. Sebuah monumen untuk mengenang kembali kekejian Belanda terhadap para pejuang bangsa yang terjadi pada puluhan tahun silam.

0 komentar:

Posting Komentar