Jumat, 30 Januari 2015

Jolotundo, Petirtaan Warisan Raja Udayana

Petirtaan (candi) Jolotundo, Trawas Mojokerto


Dari kawasan Ngoro Industrial Park (NIP) perjalanan saya lanjutkan menuju Petirtaan Jolotundo di Kecamatan Trawas Mojokerto. Tidak jauh dari kawasan NIP ada jalan beraspal yang cukup lebar. Dipinggirnya ada plakat bertuliskan PPLH (Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup) Seloliman 9 km.

Mumpung hari belum terlalu sore, saya bergegas menuju kawasan Desa Seloliman dengan mengikuti petunjuk jalan dari kawasan NIP tadi. Petirtaan Jolotundo juga berada di Desa Seloliman. Kira-kira naik lagi sejauh 2 kilometer dari base camp PPLH itu.

Selama perjalanan saya menyaksikan panorama alam yang menarik. Persawahan warga, birunya Gunung Penanggungan, air gemericik di selokan kawasan pegunungan yang saya amati saat beristirahat sejenak di pinggir jalan. Tak terasa saya akhirnya sampai juga di kawasan Desa Seloliman tempat base camp PPLH itu.

Perjalanan masih harus dilanjutkan lagi karena tujuan saya bukan ke PPLH ini melainkan ke situs yang konon dulu merupakan warisan Prabu Udayana saat beliau masih berusia belasan tahun. Setiap pengunjung Petirtaan Jolotundo dikenakan tiket masuk sebesar Rp.6000,- sedangkan ongkos parkirnya sebesar Rp.2000,-. Perlu traveler ketahui bahwa objek wisata ini buka 24 jam lho. Pokoknya non stop.

Ada area parkir untuk mobil dan sepeda motor. Warung kuliner juga tersedia di sana. Namun untuk bisa mencapai objek wisata Petirtaan Jolotundo traveler harus berhati-hati sebab jalan beraspal itu trekingnya naik-turun dengan tikungan yang lumayan tajam. Maklum lokasi ini terletak di pegunungan. Ada rambu-rambu di pinggir jalan yang harus diperhatikan oleh para pengunjung situs.

Petirtaan Jolotundo menarik perhatian wisatawan

Wow Petirtaan Jolotundo terlihat sangat ramai pengunjungnya terutama pada hari libur seperti Minggu siang itu. Berbeda sangat jauh dengan kekunoaan yang telah saya kunjungi sebelumnya (Situs Jedong di Ngoro, Mojokerto). Petirtaan Jolotundo secara administratif terletak di Dukuh Balekambang, Desa Seloliman, Kecamatan Trawas, Mojokerto-Jawa Timur. Secara geografis berada di ketinggian 525 m dpl tepatnya di lereng barat Gunung Penanggungan.

Dari informasi yang terpasang di tembok luar pos jaga candi diketahui bahwa bentuk Petirtaan Jolotundo yang berbentuk empat persegi panjang dengan teras di tengah dan puncak pancuran di tengah-tengah ternyata memiliki arti simbolis sebagai gambaran Mahameru (Gunung Semeru). Dalam konsepsi Hindu, Mahameru dianggap sebagai gunung suci tempat bersemayam para dewa. Konsepsi ini sebenarnya telah dikenal semenjak jaman prasejarah (masa Megalitikum) yang menganggap gunung sebagai unsur tertinggi tempat bersemayamnya roh nenek moyang.

Petirtaan Jolotundo dianggap pula melambangkan pengadukan lautan dalam cerita "Amrtamanthana" yang menceritakan proses mendapatkan air suci dengan menggunakan Gunung Mahameru yang dililit oleh ular Batara Wasuki. Berdasarkan hal itu, Petirtaan Jolotundo disamakan dengan lautan, sedangkan teras dengan pancuran berbentuk silindris yang dililit seekor ular melambangkan bentuk Mahameru. Air yang keluar dari pancuran itu sendiri dianggap air suci atau "Amrta".

Dari berbagai penelitian terdapat perbedaan pendapat mengenai fungsi petirtaan ini. Beberapa ahli seperti Shutterheim, Krom, Vanstein Callenfels beranggapan bahwa Jolotundo merupakan tempat pemakaman. Namun pendapat tersebut dibantah oleh beberapa ahli lain yang menganggap sebaliknya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Soekmono bahwa candi bukanlah makam.

Salah satu relief di Petirtaan Jolotundo

Selain itu bukti arkeologis lain juga menunjukkan bahwa Petirtaan Jolotundo dibangun oleh Raja Udayana pada saat beliau berusia 14 tahun. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Soekartiningsih maka fungsi petirtaan ini adalah sebagai monumen pernyataan dan keberadaan diri Raja Udayana saat mengundurkan diri dengan bersemedi dalam rangka menghimpun kekuatan yang akan digunakannya untuk kembali menduduki tahta di Bali.

Petirtaan Jolotundo pada dasarnya merupakan kolam dengan ukuran 16X13 meter persegi, menghadap ke Barat. Petirtaan ini dibuat dengan memotong sebagian lereng Barat Gunung Penanggungan. Di sudut tenggara dan timur laut terdapat masing-masing sebuah kolam kecil.

Di atas kolam kecil tersebut terdapat bangunan seperti candi, yaitu semakin ke atas semakin meruncing yang menempel pada dinding belakang. Bangunan ini mempunyai dua relung yang pada bagian atas masing-masing relung dihiasi. Relung bagian atas telah kosong, sedangkan relung bawah terdapat arca naga yang berfungsi sebagai saluran air dan dinding belakang ke kolam kecil.




Bukti arkeologis yang berbentuk relief di petirtaan ini telah banyak yang rusak dan sebagian tidak diketahui tempat aslinya. Selain relief, di petirtaan ini terdapat empat buah prasasti pendek dengan huruf Jawa Kuno, yaitu : 1. angka tahun 899 saka di dinding atas sebelah kiri, 2. kata terbaca Gempeng di dinding atas sebelah kanan, 3. kata terbaca Udayana di sudut tenggara, 4. kata terbaca Mragayawati di sudut tenggara.

Empat inskripsi pendek ini semakin melengkapi aspek kesejarahan Petirtaan Jolotundo. Banyak ahli sepakat bahwa angka tahun 899 saka merupakan tahun berdirinya Petirtaan Jolotundo. Bila demikian adanya maka pada tahun tersebut Udayana telah berumur 14 tahun. Inskripsi angka tahun tersebut menjadi semakin menarik bila dikaitkan dengan cerita yang ada di relief Jolotundo.

Cerita tentang penculikan Mrgawati yang sedang mengandung Udayana kiranya dapat disejajarkan dengan proses pengungsian Udayana ke Jawa Timur ketika Bali sedang dilanda pralaya (musibah/bencana peperangan). Peristiwa ini berkaitan erat dengan inskripsi yang berbunyi "gempeng".

Muncul berbagai tafsiran para ahli yang mengatakan bahwa gempeng berarti lebur, dikubur, wafat, hancur atau rasa sedih. Bila dilihat dari aspek arsitektur pembangunan petirtaan ini maka kata gempeng dapat diartikan sebagai melebur atau memotong. Hal ini disebabkan petirtaan ini dibangun dengan memotong lereng gunung sehingga bangunan ini seakan-akan melebur menjadi satu kesatuan dengan Gunung Penanggungan.

Adapun adanya tulisan Udayana dan Mragayawati yang dipahatkan pada dinding teras Jolotundo dapat dipandang sebagai usaha Udayana untuk memantapkan kedudukannya dengan menggunakan nama ibunya yang dalam naskah dikenal sebagai Mrgawati. Dalam sejarah perkawinan Udayana dengan putri Jawa yaitu Gunapriyadharmapatni dipandang sebagai usaha untuk memantapkan kedudukannya.



Para wisatawan yang mendatangi Situs Jolotundo ternyata memiliki motivasi yang berlainan. Ada yang datang ke tempat ini karena memang ingin berwisata sejarah menikmati kemolekan Petirtaan Jolotundo sebagai warisan Raja Udayana. Tidak sedikit yang terlihat diantara mereka membawa wadah air berupa botol, cerigen atau bahkan galon air minum. Para wisatawan itu sengaja datang karena mereka meyakini air yang keluar dari pancuran petirtaan ini berkhasiat.

Sebagian lagi dari mereka baik laki-laki maupun perempuan tidak segan-segan menceburkan diri untuk mandi dalam bilik yang terpisah antara pria dan wanita. Diantara para turis itu ada yang berkeyakinan kalau mandi di petirtaan ini bisa membuat wajah awet muda, terbebas dari berbagai penyakit khususnya penyakit kulit.

Saya sempat menyaksikan beberapa pria berbadan gempal dan bertato memasuki bilik khusus laki-laki. Mereka mandi dengan air yang sudah dicampur dengan bunga. Sebelum mandi para pria itu bersemedi di bagian atas dari petirtaan ini. Entah apa maksud para pria ini?

Di kolam Petirtaan Jolotundo, traveler bisa saksikan ikan-ikan besar dalam jumlah yang banyak. Ikan-ikan itu terlihat jinak, terkadang mulutnya yang lucu menjilati kaki wisatawan yang berendam di kolam itu. Mereka berlarian kesana kemari berebut makanan dari para turis yang menaburkan pelet ikan. Anehnya tidak satupun wisatawan yang berani iseng dengan mengambil atau bahkan mencuri ikan-ikan yang konon dianggap keramat itu.

Sebagian masyarakat sudah mengetahui dari cerita mulut ke mulut kalau air di petirtaan ini ampuh dan berkhasiat obat. Pernah ada peneliti asing yang mencoba menganalisis kandungan kimia dan fisika air Petirtaan Jolotundo, dari hasil penelitian itu diketahui kalau air petirtaan ini memang termasuk yang terbagus di dunia. Konon air asli petirtaan ini bisa tahan sekian lama dengan tidak mengalami perubahan secara fisika maupun kimia tanpa diproses lebih lanjut.

Kemolekan Petirtaan Jolotundo ternyata tidak disia-siakan begitu saja oleh para pemburu rezeki. Seorang pria bertopi berada di tengah taman situs ini, ia terlihat sedang membawa seekor musang (luwak) yang sudah jinak. Sang pria menawarkan hewan itu kepada para wisatawan yang mengunjungi petirtaan ini. "Bisa dibawa pulang Pak untuk keluarga di rumah" kata pria itu. Wow! tentu akan menjadi oleh-oleh yang spesial.


0 komentar:

Posting Komentar