Pak Sahuri menunjuk ke arah Situs Terung yang merana |
Banyak ahli sejarah berpendapat kalau Kota Kecamatan Krian,
tepatnya di Desa Terung inilah dulu pernah menjadi pusat peradaban kota kuno.
Kota yang dimasa pemerintahan Brawijaya V dari Kerajaan Majapahit ini pernah disebut-sebut
sebagai kota “kadipaten” (kabupaten) ini ternyata masih mempertahankan
kekunoannya hingga kini.
Seperti umumnya desa-desa lain di Sidoarjo atau bahkan di
Indonesia, Desa Terung juga dicirikan dengan masyarakat yang kebanyakan menggantungkan
hidupnya di sektor pertanian. Luas areal sawah dan ladang diperkirakan sepertiga dari
luas wilayah desa ini. Bisa dibayangkan kalau hijaunya sawah ladang mereka
menjadi pemandangan yang dominan saat mengunjungi desa ini.
Untuk mengetahui seluk-beluk Desa Terung dengan kisah masa
silamnya itu, saya berbincang-bincang dengan Pak Sahuri, pemilik lahan tempat
ditemukannya Candi Terung dengan beberapa kekunoan lainnya. Saat saya temui di
kediamannya yang berada di Desa Terung Wetan siang itu, pria berusia 60-an ini
mengaku ihlas lillahita’alla bila areal pekarangannya digali untuk kepentingan
sejarah bangsa.
Desa Terung yang subur makmur |
Sebenarnya ia bersama teman-temannya sudah melaporkan
tentang temuan Situs Terung ini ke Dinas Purbakala di Trowulan-Mojokerto. Namun
hingga kini respon pihak terkait dengan temuan benda purbakala belum kelihatan. Lelaki bersahaja dengan empat anak ini kemudian melanjutkan
kisahnya tentang kekunoan di Desa Terung.
Saat memasuki Desa Terung, nuansa
kuno nan magis masih terasa sekali. Ada 2 pohon Kepuh berukuran sangat besar
yang usianya diperkirakan sudah ratusan tahun.
Pak Sahuri dan beberapa temuan purbakala lainnya |
Sampai sekarang jejak masa silam itu masih bisa kita amati
yakni dengan adanya Sungai Terung yang semakin dangkal itu. Sambil mengutip
pendapat teman-temanya, Pak Sahuri menyimpulkan kalau dulu Kota Kadipaten
Terung merupakan kota pelabuhan. Situs Terung yang ditemukan dan senantiasa
terendam air meski kemarau seperti sekarang ini, memperkuat dugaan kalau Kadipaten
Terung memang menjadi kota syahbandar kala itu.
Situs Terung sebagai bukti peradaban Kadipaten Terung, wujud
yang sebenarnya belum diketahui secara pasti. Sahuri mengaku saat ditemukan
tumpukan bata purbakala yang menyerupai huruf “L” ini sebagian pihak merasa
tidak percaya.
Situs Terung dan gerbang dari pohon Kepuh (Kepuh Kembar) |
Kelompok itu menganggap kalau tumpukan batu bata kuno
sebanyak 15 lapis lebih itu hanya rekayasa belaka. Seiring dengan jalannya sang
waktu, ada saja pihak-pihak yang menaruh simpati dan memberikan empatinya
kepada Sahuri yang sudah pantas dipanggil “mbah” ini.
Bila diperhatikan, bahan batu penyusun Situs Terung ini terbuat
dari bata merah dengan ukuran yang lebih lebar dan tebal daripada batu bata biasa. Selain itu ada
kemiripan dengan bata penyusun candi di daerah Trowulan-Mojokerto. Sehingga
diyakini kalau situs ini berkaitan erat dengan Kerajaan Majapahit.
Meski Raden Husen (adik Raden Patah lain ayah) sebagai
Adipati Terung telah memeluk Islam namun nuansa Majapahit masih menghiasi
perikehidupan di Kadipaten Terung, ini terbukti dari adanya kekunoan yang
ditemukan sekarang. Baik Raden Husen maupun Raden Patah keduanya masih
keturunan Raja Brawijaya V dari Kerajaan Majapahit.
Temuan berupa tumpukan bata kuno yang kemudian dinamakan
Candi Terung ini berada di pekarangan Mbah Sahuri yang dipenuhi dengan pohon
bambu. Hanya beberapa meter dari candi ditemukan pula dua sumur tua. Satu sumur
dengan bibir kotak dinamakan “Sumur Manggis” dan satunya lagi diberi nama
“Sumur Gentong”.
Mbah Sahuri mengaku saat akan melakukan penggalian warisan
Kadipaten Terung ini, ia bersama teman-temannya mengerjakan ritual
tapa brata. Setelah melalui mimpi-mimpinya dan dengan tuntunan “orang pintar”
akhirnya candi dan sumur kuno peninggalan Kadipaten Terung itu bisa ditemukan.
Dari hasil penggalian di dalam Sumur Manggis ditemukan batu
andesit berbentuk mirip buah manggis, dengan kelopak buah sebanyak 8 buah (sumping).
Batu manggis kini disimpan dalam pusara Raden Ayu Ontjat Tondo Wurung (putri
Raden Husen).
Sementara dinamakan sumur gentong karena di dalamnya pernah ditemukan
beberapa gentong yang hingga kini masih terpendam di dalam sumur itu. Banyak
pengunjung meyakini bila kedua sumur ini airnya berkhasiat. Menurut penerawangan ahli-ahli kearifan Jawa. Kedelapan
sumping dari batu manggis ini mencerminkan ke-8 sifat manusia yang ada di muka
bumi.
Diantaranya : sifat/wataking bumi, marutha (angin), samudra (banyu),
dahana (geni), akasa (langit), Surya (srengenge), candra (wulan) dan kartika
(lintang). Temuan Situs Terung ini ternyata menjadi berkah tersendiri
bagi sebagian warga Desa Terung Wetan. Mereka mendirikan warung sederhana di
dekat situs untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum pengunjung yang datang ke
lokasi situs. Lumayan mengais rupiah untuk tambahan ekonomi mereka.
Pusara Raden Husein adipati Desa Terung Wetan |
Sebagai pemilik lahan dan sesepuh desa, Pak Sahuri ini patut
diacungi jempol, betapa tidak ia dengan ihlas tak mengharapkan apa-apa terhadap
pihak atau dinas terkait (BP3 Trowulan) yang mau menggali lahannya demi warisan
kuno. Iapun tak segan-segan menjadi nara sumber bagi siapa saja
yang akan mencari informasi tentang keberadaan Kadipaten Terung.
“Saya
menyambut baik siapa saja yang bertamu ke sini Dik” tandas Sahuri. Sosok
berambut putih ini tidak membeda-bedakan antara pengunjung situs dan pelaku
ritual. Semua diperlakukan sama sebagai tamu yang layak dihormati. Usai berbincang-bincang dengan Pak Sahuri, saya melanjutkan
perjalanan menuju beberapa kekunoan lain yang juga menjadi bukti keberadaan
Kadipaten Terung di masa lalu.
0 komentar:
Posting Komentar