Stasiun kereta api Bondowoso yang bersejarah |
Pagi sekali, sekitar pukul 04.00 bus yang kami tumpangi memasuki
Kota Bondowoso. Sebenarnya perjalanan Surabaya-Bondowoso tidak selama itu. Kalau lancar paling hanya butuh waktu 5-6 jam. Kebetulan bus
dari Surabaya yang langsung ke Bondowoso untuk malam hari itu ( jam 22.00 WIB,
15 Agustus 2014) tidak ada. Petugas Terminal Purabaya, Bungurasih-Sidoarjo
menyarankan agar kami estafet saja.
“Dik, naik saja dari Terminal
Purabaya ke Terminal Probolinggo, nanti setelah sampai di sana oper yang
jurusan Terminal Bondowoso” terang salah satu petugas Terminal Purabaya. Menggunakan transportasi bus sepertinya lebih leluasa
ketimbang kereta api. Kita bisa sewaktu-waktu bepergian dengan alat
transportasi ini. Kami baru bisa berangkat ke Bondowoso setelah menunggu para anggota
tim pulang dari tempat kerjanya masing-masing.
Tarif bus kelas ekonomi jurusan Surabaya-Bondowoso sekitar Rp. 28.000,-. Kalau estafet mungkin
lebih mahal dan pastinya juga lebih lama. Mendingan kita naik bus yang jurusan
langsung Surabaya-Bondowoso saja. Selain murah juga lebih cepat sampai. Bondowoso adalah kota yang kami tuju sebelum mendaki Gunung
Ijen.
Selain Bondowoso traveler bisa melalui Kota Banyuwangi untuk bisa sampai
ke Gunung Ijen, karena memang gunung ini berada di perbatasan kedua kota itu. Dinginnya pagi kota yang kondang dengan jajanan “tape” ini
begitu menusuk tulang belulang kami. Pagi itu kami diterima dengan sangat baik
oleh Pak Bambang, kepala Terminal Kota Bondowoso. Di kantornya kami menerima
banyak informasi tentang jalan terdekat menuju Gunung Ijen.
Di depan stasiun kereta api Bondowoso |
“Agak siang kendaraan yang menuju Desa Sempol akan datang
Dik. Tunggu saja di sini” kata Pak Bambang kepada kami. Desa Sempol merupakan
desa terakhir sebelum menuju pos Pal Tuding, yakni sebuah tempat pemeriksaan
sebelum mendaki Gunung Ijen. Jarak Desa Sempol dengan Pal Tuding kira-kira 15 kilometer
atau setengah jam perjalanan dengan
motor atau mobil. Selain area untuk berkemah (camping ground) di Pal Tuding
juga kita temukan beberapa fasilitas lain seperti gedung serbaguna, mushollah
dan warung kuliner.
Sambil menunggu kendaraan jurusan Pal Tuding, kami putuskan
untuk sholat subuh berjamaah di masjid Polres Bondowoso. Setelah menunaikan
ibadah sholat subuh, kami berempat memanfaatkan kesempatan yang ada untuk
berjalan-jalan sebentar menikmati segarnya pagi di Kota Bondowoso. Tak jauh dari kantor Kapolres Bondowoso, tepatnya di sudut
pertigaan jalan kami menjumpai bangunan Stasiun Bondowoso. Jika diperhatikan
gaya bangunannya, stasiun ini merupakan stasiun lama. Mungkin warisan kolonial
Belanda.
Dugaan saya tidak meleset. Stasiun kereta api Bondowoso ini
memang bersejarah. Di sebelahnya terdapat papan bertuliskan “Dari stasiun
inilah pahlawan Gerbong Maut mengorbankan jiwa raganya demi kemerdekaan negara,
nusa dan bangsa”. Kami melihat-lihat sebentar ke sekeliling gedung stasiun
ini. Stasiun ini sepertinya sudah tidak difungsikan lagi. Mungkin dijadikan
bangunan cagar budaya oleh Pemerintah Kota Bondowoso.
Hari semakin siang, penyusuran kami lanjutkan menuju
alun-alun Kota Bondowoso. Saat berada di pusat Kota Bondowoso itu, kami
terkesima dengan sebuah bangunan unik di sana. Ternyata itu adalah monumen yang punya kisah sejarah.
Monumen itu berbentuk gerbong kereta api lengkap dengan patung-patung manusia
dengan ekspresi wajah yang berbeda-beda.
Anggota tim yang akan ke Gunung Ijen |
Replika gerbong kereta api yang dinamakan “Gerbong Maut” itu
menjadi pemandangan menarik di jantung Kota Bondowoso. Seolah menjadi ikon kota yang mayoritas
warganya keturunan etnis Madura ini. Saya mendekat dan membaca lebih seksama keterangan
yang terpahat di monumen itu. Beberapa anggota tim lainnya berjalan mondar-mandir di sekitar
monumen sambil mencari tempat yang pas untuk mengabadikan pesona monumen
kebanggaan warga Bondowoso ini.
Meski Bangsa Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaannya
pada tanggal 17 Agustus 1945 namun bangsa penjajah dalam hal ini Belanda dan
sekutunya tidak serta merta hengkang dari bumi pertiwi tercinta ini. Di
berbagai penjuru nusantara militer Belanda masih bercokol dengan kuatnya.
Itu pula yang terjadi di Kota Bondowoso pada 23 November
1947. Belanda dengan alasan yang tak bisa diterima akal sehat mencoba mengoyak
kembali kedaulatan kita.
Sebanyak 100 orang tawanan di pindahkan secara tidak
manusiawi dari penjara Bondowoso menuju penjara Bubutan Surabaya. Mereka
diangkut dengan menggunakan 3 gerbong kereta barang. Gerbong 1 dan 2 berisi 68 tawanan. Gerbong dalam kondisi
tidak baru lagi tapi masih berventilasi ala kadarnya dengan ukuran 10 X 15 cm
dan ada celah-celah udara masih bisa masuk ke dalam gerbong. Pada gerbong
ketiga dengan nomer GR 10152 diisi 38 tawanan. Keadaan gerbong relatif baru
namun tidak dilengkapi ventilasi sama sekali.
Bisa dibayangkan betapa panas dan pengabnya suasana dalam
gerbong ketiga yang meski masih baru namun udara segar tidak bisa masuk. Para
tawanan yang sebagian juga dari warga biasa itu ibarat dipanggang dalam open. Menurut sejarahnya, selama lebih kurang 20 jam perjalanan
kereta api Bondowoso-Surabaya, para tawanan itu tidak diberi makan dan minum
oleh militer Belanda meski hanya sedikit.
Untuk mempertahankan diri dari rasa
haus dan lapar, diantara para tawanan itu ada yang harus meminum air kencingnya
sendiri atau dari tawanan lainnya. Sumber lain juga menyebutkan, untuk mempertahankan diri dari
haus dan lapar sebagian tawanan itu rela meminum air mani tawanan lainnya.
Setelah sampai di stasiun kereta api Wonokromo Surabaya
akhirnya diketahui kalau korban meninggal sebanyak 46 orang, sakit karena kekurangan
oksigen dan lemas sebanyak 42 orang dan hanya 12 orang tawanan yang masih sehat
itupun kondisinya juga memprihatinkan. 38 orang tawanan yang berada pada gerbong dengan nomer seri
GR 10152 semuanya tewas mengenaskan.
Gerbong asli bernomer GR 10152 itu kini
disimpan di Museum Brawijaya, Jalan Ijen 25 Malang, Jawa Timur. Sedangkan yang kita lihat di tengah Kota Bondowoso itu
adalah replikanya. Sebuah monumen untuk mengenang kembali kekejian Belanda
terhadap para pejuang bangsa yang terjadi pada puluhan tahun silam.
0 komentar:
Posting Komentar