Blue Fire (api biru) menjadi favorit wisatawan di Kawah Ijen |
Seperti rencana semula, sekitar pukul 01.00 tim kami harus memulai
pendakian di Kawah Ijen. Petualangan kecil kali ini terbilang unik karena saya
berkesempatan berkolaborasi dengan para mahasiswa yang notabene bukan hanya
pintar di bangku kuliah melainkan juga “jago” mendaki gunung.
Ayu misalnya, mahasiswi semester 3 Fakultas Ekonomi Unmuh
Gresik ini mengaku pernah beberapa kali menaklukan puncak Mahameru dan beberapa
gunung lainnya di Jawa Timur.
Rekannya yang lain, Indra pemuda ganteng ini
lebih hebat lagi pengalamannya menaklukan beberapa gunung di Jawa Timur dan
Tengah menjadikannya terlihat semakin percaya diri saat bergabung dengan tim
kami. Personil kami yang terakhir sekaligus yang paling mungil
adalah Lely. Ia tak lain adalah keponakan saya sendiri. Sewaktu sekolah di SMK
ia sudah aktif melakukan pendakian di Gunung Bromo maupun Ranu Kumbolo di
Gunung Semeru.
Meski tim kami beranggotakan kaum muda yang cukup
berpengalaman dalam pendakian namun saya masih memandang perlu kehadiran
seorang pemandu pendakian. Dia adalah Pak Misruani. Pria asal Madura ini
sehari-harinya juga berprofesi sebagai penambang belerang di objek wisata alam
Kawah Ijen, Bondowoso, Jawa Timur.
Sebelum kedatangan Pak Misruani, kami berempat sudah
menyiapkan segala sesuatunya untuk pendakian itu. Udara yang sangat dingin di
kawasan Paltuding, Sempol-Bondowoso membuat istirahat kami kurang optimal. Sedikit-sedikit
terbangun. Jaket dan kaus kaki tebal tak mampu meredam dinginnya suasana malam
itu. Geligi sempat gemertak karena menggigil kedinginan.
Tanggal 17 Agustus 2014 jam 01.00 dini hari, petualangan
jelajah Kawah Ijen segera kami mulai. Malam harinya Paltuding camp ground
dipenuhi dengan tenda-tenda petualang lain. Dari keterangan yang saya peroleh
umumnya para petualang itu juga ingin memanfaatkan momen peringatan 17 Agustus
2014 di puncak Gunung Ijen.
Indra, Ayu dan Lely |
Baru beberapa ratus meter kami mendaki, sontak saja perhatian
kami tertuju pada anggota tim bernama Ayu. Badannya sedikit sempoyongan dan
mukanya pucat. Tim segera menghentikan pendakian.
Kami menepi karena tak ingin menghalangi perjalanan pendaki
lain dan para penambang belerang. Perlu diketahui bahwa dipagi yang gelap gulita itu, para
penambang belerang sudah memulai aktivitasnya, termasuk Pak Misruani sang guide
yang kami sewa.
Ayu mengeluh karena perutnya mulas. Di kanan-kiri jalur
pendakian ada sebuah jalan kecil. Di situlah Ayu kami sarankan untuk “buang
hajat”. Setelah badannya bugar kembali pendakian kami lanjutkan.
Untuk mencapai puncak Gunung Ijen, kami dan para pendaki
lain harus berjalan kaki sejauh 3 kilometer. Ada beberapa tempat yang bisa
pendaki singgahi saat mendaki gunung ini diantaranya : base camp pondok bundar
Kawah Idjen, PT. Candi Ngrimbi Unit I Belerang, Banyuwangi dan dudukan yang
berupa kayu pohon di pinggir jalur pendakian.
Kondisi badan anggota tim yang prima dan kawan sesama
pendaki yang jumlahnya mencapai ribuan menjadi penyemangat perjalanan kami. Tak
terasa jam 02.00 pagi tim kami sudah mencapai puncak.
Saya dengan didampingi Pak Misruani memberanikan diri untuk
turun ke kawah. Sementara anggota tim lainnya lebih memilih tetap di atas. Pak
Misruani terbiasa berjalan menuju kawah karena sudah puluhan tahun ia menekuni
profesi sebagai pengangkut belerang yang naik-turun kawah Gunung Ijen.
Sisi lain Kawah Ijen dengan blue firenya |
Sebenarnya pihak pengelolah melarang keras para wisatawan untuk turun ke kawah
karena sangat berbahaya.
“Hati-hati Pak, kalau terjadi korban karena terjatuh ke
dalam kawah maka penambangan ini akan ditutup, lalu kita cari nafkah dari mana?”
ungkap Pak Misruani mengingatkan saya.
Para penambang belerang yang jumlahnya sekitar 200 orang itu
memang punya kewajiban untuk mengingatkan para wisatawan Kawah Ijen.
Selain
bahaya akibat terjatuh, gas belerang yang sangat menyengat dan beracun bisa
menyebabkan tewasnya pendaki. Tapi saya tetap saja nekad turun ke kawah kira-kira 500
meter dari puncak karena termotivasi Untuk mengabadikan momen penting yang
sejak awal kami impikan, yakni pesona “Blue Fire” (api biru) yang sudah
mendunia itu.
Awalnya Pak Misruani memandu saya menuruni kawah, setelah
dekat lokasi penambangan ia meninggalkan saya seorang diri. Ia melanjutkan
pekerjaannya mengangkut puluhan kilo belerang menuju truk pengepul belerang di
Paltuding. Untung saja ada
banyak pendaki lain yang bisa menjadi teman saya di lokasi penambangan
belerang ini. Sambil sesekali mengabadikan blue fire Kawah Ijen yang juga ada
di Negara Islandia itu, saya sempat melihat ada bangunan sederhana (camp)
penambang di dekat kawah.
Selain api biru, kawah hijau toska juga mempesona |
Beberapa penambang juga terlihat sedang menuangkan cairan belerang
ke dalam cetakan-cetakan dengan bentuk beragam untuk kemudian dijadikan suvenir-suvenir
cantik nan unik yang bisa dijual kepada para wisatawan. Hembusan asap belerang menyebabkan sesak nafas dan mata
terasa pedih sekali. Itu saya alami sendiri.
Saya sempat panik dengan kejadian
ini. Sesekali saya berlindung di camp penambang. Kadang juga dengan memalingkan
muka ke bawah dan menutup hidung rapat-rapat. Beberapa saat kemudian keadaan di lokasi penambangan normal
kembali. Ketika asap panas belerang hilang ditiup angin maka pijar api biru itu
terlihat, di saat itulah saya dan pendaki lain mengabadikan pesona pijarnya.
Sebuah momen yang menjadi ikon objek wisata alam Kawah Ijen di Banyuwangi,
Jatim.
0 komentar:
Posting Komentar